Minggu, 13 Desember 2015

Upah, Ambivalensi Hubungan Pengusaha dan Pekerja

Berbicara mengenai upah umumnya merujuk kepada imbalan atas pekerja yang melakukan pekerjaan kasar dan lebih banyak mengandalkan kekuatan fisik. Saya rasa kata ini mengalami penyempitan makna karena kalau kita merujuk kepada UU No 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan pasal 1 ayat 30, upah adalah hak pekerja/buruh yang diterima dan dinyatakan dalam bentuk uang sebagai imbalan dari pengusaha atau pemberi kerja kepada pekerja/buruh yang ditetapkan dan dibayarkan menurut suatu perjanjian kerja, kesepakatan, atau peraturan perundang-undangan, termasuk tunjangan bagi pekerja/buruh dan keluarganya atas suatu pekerjaan dan/atau jasa yang telah atau akan dilakukan.

Jadi menurut UU diatas, semua pekerja apapun jenisnya akan mendapat imbalan yang disebut upah. Dengan upah tersebut maka pekerja dapat memenuhi kebutuhan hidupnya. Upah merupakan faktor yang menyebabkan terjadinya hubungan industrial antara pengusaha dan pekerja.

Pekerja menukarkan tenaga dan pikirannya dengan sejumlah upah yang ditawarkan oleh pengusaha. Pertanyaan yang timbul adalah kenapa ada peraturan mengenai upah minimum? bukankah upah merupakan cerminan dari pekerjaan atau jasa yang telah dilakukan oleh seseorang. Jadi tingkat upah ditentukan oleh pekerjaan atau jasa itu sendiri. Untuk menjawab ini kita dapat merujuk kepada Permenaker No 7 tahun 2013 tentang Upah Minimum, di situ disebutkan bahwa peraturan upah mininum ditujukan untuk melindungi upah pekerja agar tdak merosot pada tingkat yang paling rendah sebagai akibat ketidakseimbangan pasar kerja.

Pada sisi pekerja maka kita dapat melihat ada poin penting yang menjadi concern dari pekerja yakni Income Security. Mereka membutuhkan kepastian dan proteksi terhadap pendapat mereka. Sekedar informasi, sesuai Permenaker No 7/2013 pasal 15 ayat 2 diyatakan bahwa upah minimum hanya berlaku bagi pekerja yang mempunyai masa kerja kurang dari 1 (satu) tahun. Inilah yang menyebabkan adanya upah sundulan. Namun tidak ada peraturan mengenai upah sundulan, umumnya proporsi upah sundulan ditetapkan secara bipartit antara pengusaha dan perwakilan pekerja.

Lalu bagaimana dari sisi pengusaha?

Pengusaha membutuhkan tiga hal berikut demi kelangsungan usaha mereka, yakni:
  • Kepastian keamanan
  • Kepastian hukum
  • Kepastian usaha
Bagi pengusaha, kondisi ekonomi dan situasi politik yang stabil merupakan syarat mutlak untuk kelangsungan usaha mereka. Pengaturan upah menjadi penting karena disana terdapat suatu kepastian dari sisi biaya. Di Indonesia, industri yang ada berbasiskan pada industri padat karya. Kenaikan upah minimum yang tinggi rata-rata >15%/ tahun (2013-2014 naik 16.89%) menyebabkan semakin menyusutnya industri padat karya.

Dari sini terdapat dua kepentingan yang sangat berbeda antara pekerja dan pengusaha, kalau kita coba bayangkan maka ada dua lingkaran yang berisi masing-masing kepentingan yang saling terkait dan terdapat suatu irisan diantara lingkaran tersebut. Irisan tersebut berisi Performance, Wealth dan Sustain.

Seperti saya singgung di awal bahwa upah merupakan cerminan nilai dari pekerjaan atau jasa yang telah dilakukan maka semakin baik kinerja atau kualitas dari pekerjaan dan jasa yang dihasilkan, semakin besar pula upah yang didapat namun karena industri yang ada di Indonesia umumnya bukan berbasis padat modal maka situasi ideal tersebut belum dapat tercapai. Di titik inilah campur tangan dari pemerintah.

Baru-baru ini pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah No. 78 tahun 2015 mengenai pengupahan. Peraturan tersebut mengatur semua hal tentang pengupahan, mulai dari jenis-jenis upah, komponen upah, dan konsep penghasilan yang layak, termasuk di dalamnya penentuan upah. Khusus mengenai upah minimum, diatur mengenai formula dalam penetapan upah minimum yakni dengan memperhitungkan tingkat inflasi nasional dengan pertumbuhan ekonomi nasional tahun berjalan. Hal ini merupakan suatu terobosan dimana pada tahun-tahun sebelumnya penetapan upah minimum ditetapkan oleh gubernur dengan rekomendasi dari dewan pengupanan provinsi yang sangat mungkin bisa dipolitisasi untuk kepentingan politik gubernur tersebut.

Sejatinya, upah merupakan ranah privat antara pemberi kerja dan pekerja. Dalam hal ini pemerintah turut campur tangan melalui kebijakan upah minimum yang bertujuan untuk melindungi pekerja agar tidak jatuh kedalam kondisi pengupahan murah. Dan dari sisi pengusaha intervensi pemerintah ini dimaksudkan untuk memberi kepastian dan melindungi dunia usaha agar dapat berkembang dan meningkatkan lapangan pekerjaan.



Kamis, 10 Desember 2015

Bermurah Hatilah Kepada Karyawan Anda



Beberapa waktu yang lalu banyak media yang memberitakan perusahaan-perusahaan yang royal kepada karyawannya dengan cara memberikan bonus uang, fasilitas atau liburan mewah sebagai penghargaan atas kinerja mereka. 

Ada Bos Tiens Group Company yang mengajak 6.400 karyawannya berlibur ke Paris. Lain lagi pemilik Virgin Group, Richard Branson, yang memberi karyawan tertentu yang baru menjadi ayah atau ibu, untuk libur 1 tahun penuh, dan digaji. Atau Savjibhai Dholakia, seorang bos dermawan asal India memberikan hadiah kepada 1.200 pekerjanya berupa sebuah mobil baru, rumah dan ratusan berlian karena para karyawan itu dianggap loyal kepada perusahaan. Jumlah uang hadiah total adalah 50 miliar rupee atau Rp 9,7 triliun

Perusahaan-perusahaan itu tentu berharap dengan benefit yang diberikan kepada karyawan tentu akan membuat mereka senang sehingga motivasi meningkat yang mengakibatkan tingginya produktifitas dan keuntungan perusahaan.

Umumnya, tindakan kedermawan yang tampak dan dapat dirasakan berbentuk materi atau uang. Namun ada banyak cara dalam memberi hadiah atau apresiasi kepada karyawan yang tidak harus berbentuk materi. Bagi karyawan yang terbiasa menghadapi macet, penawaran dari perusahaan dalam hal jam kerja fleksibel atau teleworking dari dari rumah tentu merupakan hadiah yang sangat berarti.

Mereka tidak diburu waktu setiap harinya demi hadir tepat waktu di kantor. Penerapan jam kerja yang fleksibel memungkinkan mereka mengatur waktu kerja mereka. Tidak masalah karyawan datang kantor agak siang, yang dituntut adalah hasil atas target kerja mereka. Atau penerapan konsep teleworking yang memberikan kesempatan kepada karyawan untuk bekerja di rumah di waktu-waktu tertentu. (pembahasan lebih lanjut mengenai teleworking dapat dilihat disini)

Kalau anda adalah pimpinan atau manager di perusahaan, cobalah sesekali memberi pujian atas hasil kerja mereka. Pujian tersebut dapat secara personal atau dilakukan di depan umum pada saat rapat misalnya. kelihatannya sepele tetapi hal itu dapat memberikan efek yang luar biasa karena bawahan anda akan merasa dihargai dan diapresiasi hasil kerjanya.

Memberikan kelonggaran dalam berpakaian kerja di hari Jumat (pakaian kasual) atau membuat papan pengumuman yang berisi "hall of fame" / pemilihan karyawan terbaik bulan ini sudah banyak dilakukan di perusahaan lain dan dapat diterapkan di kantor anda.

Di perusahaan saya saat ini, saya memberikan "entertain" kepada karyawan lainnya melalui tersedianya banyak pilihan minuman di pantry. Karyawan dapat memilih minuman favorit mereka yang telah disediakan. Ada kopi, teh, coklat, susu, atau sereal instant yang siap diminum kapan saja. Memang terlihat sepele dan kecil tetapi bagi saya ini merupakan bentuk kedermawanan dari perusahaan kepada karyawan. 

Kalau hal-hal diatas sulit untuk dilakukan dalam waktu dekat, cobalah dengan melakukan hal yang paling mudah terlebih dahulu. Silakan praktekan hal ini : ucapkan

TERIMA KASIH 

 kepada karyawan atau bawahan anda sekarang juga dan lihat reaksinya.



Rabu, 02 Desember 2015

Kemacetan, Produktivitas dan Kebahagiaan



Tahukan anda, sebuah survei yang dilangsungkan untuk indeks kesehatan Gallup-Healthways Well-Being, Inggris menyimpulkan, jarak rumah-tempat kerja yang ideal maksimalnya adalah 10 menit. Orang dengan waktu tempuh ke tempat kerja hingga tiga jam atau lebih cenderung mengalami kekhawatiran berlebihan sepanjang hari.

Dari Studi diatas dapat kita tarik kesimpulan bahwa semakin jauh lokasi kerja dan semakin lama perjalanan yang ditempuh akan mengakibatkan menurunnya kesehatan dan kebahagiaan seseorang. Banyak waktu terbuang sia-sia yang seharusnya dapat dipergunakan untuk hal lainnya seperti waktu untuk keluarga, beribadah, atau sosial.

Bagi karyawan yang bekerja di kota-kota besar pasti akan menjumpai yang namanya kemacetan. Banyak karyawan yang membutuhkan waktu sekitar 3 jam lebih untuk pergi dan pulang dari rumah ke kantor. Pergi pagi hari dan pulang larut malam.

Saat tiba di kantor, pikiran dan tenaga sudah terkuras habis akibat perjalanan yang melelahkan sehungga produktivitas pun menurun tajam. Begitupun saat kembali ke rumah, tidak ada waktu luang yang dapat digunakan untuk kegiatan sosial atau lainnya sehingga kebahagiaan anjlok ke titik nadir.

Kebahagiaan dapat menjadi motivasi seseorang dalam bekerja, Mustahil didapat produktivitas unggul tanpa adanya motivasi dan semangat juang, Kalau dibiarkan terus menurus maka karyawan akan menjadi bosan dan tidak akan ada komitmen/keinginan untuk berkontribusi dan rasa memiliki (ownership) terhadap pekerjaan dan perusahaan.

Ada suatu konsep pemikirian yang mungkin bisa menjadi solusi bagi masalah diatas yakni konsep bekerja di rumah / teleworking. Perusahaan dapat menawarkan kepada karyawan untuk bekerja di rumah. Mungkin dapat dilakukan seminggu satu kali atau sebulan sekali. Dengan adanya kemajuan teknologi saat ini (email, skype, smarphone, dll) tidak ada hambatan atas pekerjaan dan komunikasi antar karyawan.

Bayangkan berapa banyak keuntungan yang didapat dengan penggunaan konsep ini. Produktivitas meningkat karena karyawan tidak akan terkuras energi di perjalanan dan kemacetan dapat berkurang. Karyawan dapat membagi waktu untuk bekerja, sosial, keluarga dan beristirahat secara fleksibel.

Memang tedak semua pekerjaan dapat menggunakan konsep ini. Tetapi saya rasa kebanyakan pekerjaan di perusahaan dapat mengaplikasikan konsep ini.

muram tentang produktivitas dan semangat kerja
muram tentang produktivitas dan semangat kerja
muram tentang produktivitas dan semangat kerja

muram tentang produktivitas dan semangat kerja